Aroma laut menyapa lembut indera penciuman,
saat kami mulai memasuki Santolo,
pantai yang terletak di kecamatan Cikelet, Kabupaten
Garut, Jawa barat.
Aspal berdebu dan berlubang merupakan pemandangan
pertama yang kami dapatkan saat akan memasuki gerbang Pantai.
Kondisi ini sempat membuat kami ragu, jika Santolo akan menawarkan keindahan
yang menakjubkan seperti kata orang-orang.
Kami pun sampai di pintu gerbang pantai.
Dari kejauhan tampak dua orang laki-laki paruh baya berseragam cokelat muda, di
lengan kirinya tertempel logo Dinas Pariwisata Kabupaten Garut, sudah bersiap
menghadang kami.
“Heup (stop) ,
10
puluh ribu Pak” intruksi salah satu petugas kepada kami saat hendak melintasi
gerbang.
Tak menunggu lama, salah satu teman kami langsung menyodorkan dua lembar uang pecahan 10
ribu rupiah. Sambil tersenyum, bapak petugas menerima uang tersebut.
“Wilujeung berlibur Pak” katanya
sambil mengangkat tangan, layaknya menghormat bendera. Kami pun membalasnya
dengan acungan dua jempol sambil berlalu.
Seperti pada umumnya objek wisata yang dikelola
oleh Dinas
Pariwisata
Pemerintah
Daerah,
Santolo pun mengharuskan setiap pengunjungnya membayar retribusi.
Biaya yang harus dikeluarkan untuk menikmati
keindahan pantai ini dipatok sebesar 10
ribu rupiah
untuk setiap kendaraan roda dua, dan 20
ribu
rupiah untuk kendaraan roda empat.
Setelah melintasi gerbang, kami dibuat
kagum dengan pemandangan yang begitu menakjubkan. Jalanan lurus tanpa lubang
dan debu, sisi kanan dan kiri diapit oleh hamparan padang savana
yang begitu luas, seluas mata memandang.
Di tengah-tengah padang terlihat lapangan
peluncuran roket milik Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
(LAPAN) yang menambah keindahan tempat ini. Mengingatkan kami pada filim-film
ber-genre western dengan latar sekitar Texas. Kondisi ini tampak
kontras jika dibandingkan dengan jalanan yang kami lewati sebelum
memasuki gerbang.
Karena sangat antusias, spontan kami pun
berteriak-teriak , “Yeee, yeeee, yeeee” sambil mengacung-acungkan dua tangan.
Bahkan salah satu teman nekad melepaskan Stang
motor dan ikut mengacungkan dua tangan. Saya berpikir, mungkin dia sedang
merasa menjadi Lorenso Lamas dengan motor Harley Davidson-nya dalam film
seri Renegade yang tayang tahun 90 an.
Kegembiraan kami tiba-tiba sedikit
terganggu ketika gerombolan speda motor terlihat mencoba mengejar kami. Rasa
takut pun mulai terlintas, apalagi ketika salah satu laki-laki berambut gimbal
dengan guratan wajah seperti preman terminal, mulai memepet kami dengan RX
king-nya.
Sambil berupaya menghentikan laju kami, Dia
berkata setengah teriak, “ Pak Kamar Pak, Murah Cuma
100 ribu semalam” Sontak kami tertawa. Dikira begal, ternyata Cuma calo penginapan.
Si Calo terus mengejar sambil berupaya
merayu kami, “Murah Pak, 100 ribu semalam. Sama perempuannya namabh 300 ribu ”
katanya dengan ekspresi serius.
Mendengar rayuannya saya pun mengernyitkan
kening, aneh dan geli. Ternyata baru tahu,
bisnis esek-esek ada juga di pantai sekelas Santolo. Maklum, kami sangat minim
pengetahuan soal praktek bisnis yang satu ini. Boleh juga dibilang asing.
Bagi kami yang sehari-hari aktif mengajar
di Perguruan Tinggi Islam, prostitusi adalah hal yang
tabu, bahkan haram. Itu adalah prinsif yang tidak bisa ditawar-tawar lagi.
Sudah final, bahkan harga mati, seperti Pancasila sebagai dasar Negara ini.
Karena tidak mendapat respon, akhirnya si
calo pun meninggalkan kami dan memburu pengunjung yang lain.
Sempat salah satu teman tergoda untuk langsung
turun ke pantai, sekedar untuk bermain ombak dan membuat istana pasir, katanya.
Namun, niatnya terpaksa harus diurungkan mengingat hari masih terik, matahari
tepat sejajar di atas ubun-ubun. Akhirnya kami pun menuju dermaga untuk mencari
penitipan speda motor.
Di dermaga, kami disambut dengan ramah oleh
puluhan nelayan. Mereka terlihat sedang melakukan persiapan untuk melaut. Sebagian
dari mereka terlihat sedang menaikan jala ke atas perahu, ada juga yang sedang
menaikan kotak es, beberapa orang terlihat sedang merapatkan perahu ke sisi
dermaga.
Salah satu nelayan menghampiri kami, “Bapak
mau menginap?” tanyanya pada teman saya yang sedang memarkirkan speda motor
sejajar dengan milik pengunjung lain. Teman saya meng-iya-kan dengan anggukan
kepalanya.
“Kalau mau menginap, sebaiknya motornya
jangan ditaruh di sini. Biar aman, di kantor saja
Pak” sambil menunjuk ke arah kantor Dinas
Pariwisata
yang jaraknya sekitar dua pluh meter dari tempat kami memarkir motor. Tak
berpikir panjang, Kami pun mengikuti sarannya.
Setelah memarkir motor di halaman Dinas
Pariwisata,
kami bergegas menuju dermaga lagi. Saat hendak menuruni sisi dermaga, seorang
nelayan dengan tergopoh-gopoh menghamipiri kami. Dia bertanya
dengan ekspresi sangat ramah, tapi terkesan sok akrab.
“Pak, pak, mau menginap? Di Hotel Melati
(bukan
nama sebenarnya) saja pak, sekamar Cuma 100 ribu.
Jika mau tambah perempuan, nambah 300 ribu Pak” katanya, sambil sesekali
memegang tangan kami.
“Kami mau Camping” jawab teman
saya sedikit kesal.
Saya berpikir, respon teman saya yang ketus
akan cukup membuat si calo kabur. Ternyata tidak. Dia malah tersenyum, seolah
tidak sedikitpun merasa kecewa.
“Oh…Camping. Kalau mau camping
mendingan di Pulau Santolo saja Pak. Tempatnya Indah. Hayo saya antar” terangnya
sambil menunjuk ke sebuah pulau di seberang dermaga. Seolah tak butuh
persetujuan, dia pun bergegas ke sisi dermaga, dan melepaskan
jangkar perahunya.
Setelah melintasi muara sungai yang
lebarnya kira-kira 20 meter, dengan jarak tempuh kurang dari lima menit, kami
pun sampai di tepian pulau.
“Dua puluh ribu pak” kata si nelayan sambil
asyik
memutar balik arah perahunya . Mendengar ongkos sebesar
20 ribu rupiah hanya untuk perjalanan kurang dari lima menit, sempat membuat
kami kaget. Padahal di tempat kami, perjalanan selama setengah jam dengan
angkutan pedesaan, cukup mengeluarkan uang
sebesar lima sampai tuju ribu rupiah saja.
Tak sabar ingin menikmati keindahan pulau,
membuat kami enggan untuk berdebat menyoal mahalnya ongkos perahu. Salah satu
teman kami merogoh uang dari
saku celana Jeans-nya, dan menyodorkan selembar uang pecahan lima puluh
ribu.
“Aduh, gak ada kembaliannya pak. Nanti saja
ya, kalau Bapak pulang hubungi saya. Caranya, bapak teriak saja dari tepi pulau
ini, panggil nama saya Asman (samaran). Pasti saya jemput” katanya sambil
berlalu. Gila, pikir kami. Di Jaman modern seperti sekarang, masih harus
teriak-teriak hanya untuk memanggil orang.
Menikmati Keindahan Pulau Santolo
Benar saja, Pulau Santolo
memang sangat menawan. Pulau dengan luas
+_ 4
KM2 ini menawarkan pemandangan yang sangat menakjubkan. Lebih dari dua per tiga
daratannya merupakan hutan mangrove. Pantainya dikelilingi hamparan
karang yang ditumbuhi lumut hijau. Di tepi pantai, berderet karang-karang tajam
menyerupai koral.
Di ujung pulau sebelah barat terdapat
tembok pemecah ombak sepanjang 200 meter yang menjorok ke laut . Sungguh view
yang memanjakan bagi para potografer profesional maupun para amatir seperti
kami.
Tak banyak bangunan di pulau ini. Hanya ada
tiga penginapan kecil,empat
WC umum, sebuah mushala, sisanya warung-warung warga. Itu pun kebanyakan sudah
tutup.
“warung-warung di sini bukanya hanya akhir
pekan saja. Selain akhir pekan, Cuma beberapa saja yang buka, Itu pun Cuma
sampai sore” ungkap seorang pemilik warung yang kami temui.
Selepas shalat Ashar, kami mencoba
menelusuri arah timur pantai. Bermaksud mengambil beberapa gambar dengan DSLR
milik salah satu teman. Sambil sesekali ngobeng, berharap banyak ikan yang
terjebak dalam kubangan air.
Setelah bersusah payah, akhirnya
kami
mendapatkan beberapa space poto
yang lumayan ciamik. Hampir semua poto yang kami dapatkan
bertema karang. Memang tidak terlihat profesional, namun cukup untuk sekedar
memuaskan diri dengan Like dan komentar teman-teman di Facbook dan
Instagram.
Tawaran yang sama di Pantai Sayang Heulang
Tak terasa, perjalanan samapai di ujung
paling timur pulau Santolo. Dari kejauhan tampak deretan bangunan mirip
penginapan, berjejer rapi di sepanjang garis pantai.
“Sayang Heulang” gumam salah satu teman. Tepat
sekali, itu adalah pantai Sayang Heulang. Seperti tertulis dalam papan besar di
ujung jalan yang kami lewati kemudian, “Selamat Datang di Pantai Sayang
Heulang”.
Sayang Heulang merupakan pantai yang
berlokasi di timur pantai Santolo, dipisahkan oleh sungai Cilaut
Eureun yang lebarnya sekitar 20 meter. Kondisinya tidak jauh berbeda dengan
pantai Santolo. Yang menjadi ciri khas dari pantai ini yaitu deretan bangunan
yang lebih menyerupai Lesehan, berjejer rapi di sepanjang
garis pantai. Jarak antara satu bangunan dengan bangunan lainnya sekitar 20
meter.
Sekedar untuk mencari informasi tentang
pantai ini, kami pun bergegas menuju sebuah warung. Di sana, kami disambut
ramah oleh seorang wanita paruh baya yang sedang merapihkan dagangannya. Sebut
saja namanya Bu Sutijah. Warga asli Pamengpeuk yang telah puluhan tahun menapkahi
keluarganya dengan menjajakan soft drink, ikan bakar, dan aneka snack
kepada para pengunjung. Suaminya bekerja sebagai pelayan di sebuah Kafé malam
milik hotel ternama di Sayang Heulang.
Kepada kami, dia pun menuturkan
suka-dukanya mengais rejeki di tengah-tengah ketatnya persaingan bisnis Tourist
resort di tempatnya. Selain memiliki warung kecil yang ukurannya sekitar
dua kali tiga meter, Bu Sutijah juga memiliki 4 kamar penginapan.
“kalau bapak berminat, saya juga
menyediakan kamar lengkap denga WC di dalam. Kebetulan sekarang lagi sepi
pengunjung, jadi Bapak cukup membayar 100 ribu rupiah per malam” tuturnya sambil
menunjuk bangunan dua lantai di belakang warungnya.
Mendengar tawaran Bu Sutijah, kami
menolaknya dengan dalih kami berniat camping di pulau Santolo. Dalih pun
diperkuat dengan alasan bahwa speda motor kami diparkir di Kantor Dinas
pariwisata pantai Santolo, yang jaraknya cukup jauh dari tempat
Bu Sutijah.
Mendengar penjelasan kami, yang menurut
kami cukup rasional, Bu Sutijah tiba-tiba tersenyum genit. Seolah memiliki
tafsir lain dari penjelasan yang kami utarakan. Sambil mendekat pada salah satu
teman, dia berkata setengah berbisik.
“Saya pun menyediakan perempuan Pak. Mereka
cantik-cantik dan masih grace. Murah, cuma
300 ribu rupiah“ katanya.
Mendengar bisikan Bu sutijah yang mencoba
menggoda iman, tak disangka insting peneliti teman saya pun tiba-tiba
muncul. Layaknya seorang sosiolog yang sedang melakukan observasi lapangan, dia
mencoba menggali informasi lebih detail. Mulai dari umur, tempat asal mereka,
samapai prosedur layanan booking.
“kami menyediakan gadis-gadis berumur 15
tahun-an juga pak. Mereka didatangkan dari desa-desa sekitar daerah ini. Mereka
bisa di booking semalam, terserah bapak mau bawa mereka ke mana. Kalau Bapak
berminat, sekarang pun bisa langsung telpon” tambahnya.
Mendengar penjelasan Bu sutijah, ada rasa
nyinyir dalam hati saya. Membayangkan puluhan gadis belia yang polos, gadis
desa dengan pendidikan alakadarnya yang mencoba keluar dari himpitan ekonomi
keluarga, menjajakan kehangatan di pantai ini. Sebagian mereka mungkin terpaksa,
tetapi tak sedikit juga yang memandang pekerjaannya sebagai sesuatu yang wajar.
Hal lain yang membuat saya heran, yakni
tentang kisaran ongkos yang ditawarkan. Besarnya sama persis dengan yang
ditawarkan calo kamar pertama dan kedua, sebesar 300 ribu rupiah. Ternyata
praktek kartel terjadi juga di dunia esek-esek. Barang sejenis
dengan kualitas yang berbeda, dijual dengan harga yang
sama atas kesepakatan bersama para produsen.
Rakit Gratis di Sungai Cilaut Eureun
Setelah merasa puas dengan informasi dari
Bu Sutijah, kami pun pamit dengan terlebih dahulu membeli dua botol air mineral
dan dua bungkus rokok sebagai tanda terimakasih. Berharap, Bu Sutijah tidak
terlalu kecewa dengan penolakan kami.
Perjalanan pulang ke Pulau Santolo dengan
menyusuri kembali jalur pantai, cukup jauh. Jaraknya lebih dari satu jam
perjalanan. Padahal hari sudah menjelang maghrib. Akhirnya kami memutuskan untuk
menempuh jalan lain yang lebih dekat.
Satu-satunya jalan terdekat yaitu kembali
ke dermaga dengan melintasi Sungai Cilaut
Eureun. Tak semudah yang dibayangkan, untuk melintasi sungai, kami harus
menggunakan rakit. Rakit yang tertambat jauh di bawah tepi sungai. Untuk sampai
di atasnya, dengan susah payah, kami harus menuruni tepi sungai yang curam dan
berlumpur.
Alhasil, Atas bantuan si empunya rakit,
kami pun berhasil melintasi sungai. Meskipun harus dibayar mahal dengan luka
sayatan pada kaki salah satu teman. Sebagai tanda terimakasih, kami pun berniat
memberikan sejumlah ongkos pada pemilik rakit. Tapi tak disangka dia menolak.
Walaupun setelah dipaksa akhirnya dia menerima.
Menarik, di tengah-tengah masyarakat yang
serba komersil, masih ada orang yang rela membantu sesama dengan tulus hati,
tanpa imbalan. Dengan layanan rakit gratis yang mungkin sulit untuk ditemukan
di tempat lain, Pak Emen (samaran) mencoba merubah stereotipe yang
melekat pada masyarakat pesisir (baca: masyarakat di sekitar objek
wisata), serba komersil, pikir saya.
Berbekal rasa penasaran akan kesalehan
sosial yang dimiliki Pak Emen, dan berharap mendapat pelajaran berharga dari
keteladannya melayani sesama, Saya pun menanyakan perihal layanan rakit gratis
yang disediakannya.
“Rakit ini gratis ya pak?” tanya saya.
“Tidak pak. Itu bukan rakit saya. Kebetulan
saya juga sedang menyebrang. Mungkin pemilik rakitnya sedang tidak di tempat”
Jawab pak Emen sambil membersihkan lumpur dari sela-sela jari kakinya.
Jawaban pak Emen membuat saya sedikit
lemas. Sosok “Pahlawan Tanpa Balas Jasa” yang sempat tergambar jelas di guratan
wajahnya, tiba-tiba pudar seketika. Saya pun berlalu, tak ingin memperpanjang percakapan.
Ketika kami sampai di dermaga, hari sudah
semakin gelap. Sebelum menyebrang ke pulau, kami menyempatkan membeli 2 kg ikan
tongkol dari warung di tepian dermaga, lengkap dengan bumbu ikan bakar sesuai
intruksi salah satu teman.
Malam yang dingin di pulau Santolo kami
habiskan dengan bercengkrama satu sama lain. Di temani segelas kopi, dan ikan
tongkol bakar bumbu kecap racikan salah satu teman, dinginnya angin laut tak
begitu terasa. Suasana semakin hangat tatkala seorang teman berinisiatif
menggelar tadarus gaple.
Menjelang dini hari, kami memutuskan untuk
menjelajahi mimpi masing-masing. Mimpi yang terkadang menghenyakan dari
lelapnya tidur. Mimpi yang terkadang menjelma menjadi realitas.
Realitas dimana setiap keindahan alam ciptaanTuhan, selalu dihiasi oleh ekspresi
manusia sebagai suatu keindahan dalam bentuknya yang lain. Seperti Pantai
Santolo ini.
Berkunjung ke pantai santolo menyisakan
pengalaman yang sangat bermakna. Selain kita akan dimanjakan dengan alamnya
yang begitu indah, Santolo juga menawarkan “Keunikan” moral
budaya masyarakatnya.
Penulis: Yousave Moslem, travel blogger.
Catatan perjalanan ke pantai Santolo
bersama Dudin Samsudin, Iim Abdurohim, dan Agustian.
loading...
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon