Abah Anom bersama salah satu cucunya, Edwin kecil putra dari alm. H. Endang Ja'far Sidiq Arifin |
Tidak mudah untuk dapat membaur dengan kanak-kanak. Apalagi mampu
menyelami kehendak dan kebutuhan mereka. Lebih
lanjut mampu mengarahkan kanak-kanak sesuai dengan kecenderungan yang
dimilikinya.
Saat ada tamu pun, bila ada kanak-kanak yang berada di madrasah
dan berjalan menuju Abah, Abah peduli kepada kanak-kanak, memperkenalkannya
kepada tamu, menanyakan apa makanan yang diinginkan dari sang anak, lalu
membujuk sang anak untuk melanjutkan permainan kembali.
Abah sering duduk di teras madrasah sambil mengamati kanak-kanak
yang sedang bermain di sekitar halaman madrasah. Saat ada petugas pesantren
ingin menegur anak-anak itu untuk pindah , Abah memberi isyarat untuk
membiarkan anak-anak bermain di sekitar madrasah. Abah lalu ke dalam madrasah
mengambil makanan yang tersedia dan membagikannya kepada anak-anak yang
bermain. Tak jarang Abah berdialog dan bercanda dengan anak-anak itu.
Keakraban Abah dan kanak-kanak ini seringkali membuat orangtua
dari kanak-kanak ini merasa risi. kanak-kanak itu sedemikian polosnya. Bahkan
para orangtua ini khawatir bila anak-anak mereka melakukan tindakan atau
mengucapkan kata dan kalimat yang "culangung" tidak sopan bahkan
tidak pantas.
Menghadapi kanak-kanak yang polos dan penuh keriangan itu Abah
tersenyum. Abah tiada tersinggung apalagi marah saat kanak-kanak itu melakukan
tindakan yang dipandang sebagai "culangung". Abah justru memanggil
anak-anak itu dengan panggilan yang baik dengan penuh kelembutan "Bageur",
"Agus", "Asep", "Cep" sekaligus mengajarkan
kepada kanak-kanak itu bagaimana bertutur kata.
Suatu kali Abah sedang berdialog dengan seorang anak umur 5 tahun.
"Ujang puasa tidak ?" tanya Abah kepada anak di madrasah yang memegang kue
"Puasa ujang mah" kata sang anak
"Lho... itu ada kue di kedua tangan dan barusan makan kue "
"Ujang mah puasa makan nasi, Bah " kata si anak sambil melanjutkan mengunyah kue di madrasah.
Seorang anak berusia 5 tahun yang dilahirkan dan dibesarkan di Pekalongan dibawa oleh Kang Dudun Saiduddin (almarhum) di tahun tujuhpuluhan ke Pondok Pesantren Suryalaya. Anak yang dibesarkan dalam lingkungan berbahasa Jawa ini diasuh di madrasah sebelum kedua orangtuanya datang dari Pekalongan.
Suatu pagi ketika Abah sedang menerima tamu, anak ini menangis
sambil berteriak "Ngombe..... Ngombe...... Ngombe...."
Pengasuh yang ada di sekitar madrasah yang tidak mengerti apa yang
diinginkan anak, mengasongkan apa saja yang ada di situ. dari mulai permainan
hingga makanan. Alih-alih diam, sang anak malah makin meronta-ronta sambil
berteriak "Ngombe....Ngombe..."
Abah yang sedang melayani tamu berpamitan sejenak kepada tamu,
lalu ke dapur bertanya kepada pengasuh.
"Apa yang diinginkan anak ini....?"
"Nggak tahu Bah, ia cuma teriak 'Ngombe...Ngombe....' saya asongkan apapun ditolaknya dan makin keras tangisannya".
Abah merangkul anak itu menggendongnya dan berkata "Coba ambil secangkir air ke sini "
Pengasuh mengambilkan secangkir air dan menghaturkannya kepada Abah. Abah memberikan cangkir ini kepada sang anak. Anak itu mengambil cangkir berisi air dan semangat meminumnya. Usai tenang Abah memberikan anak itu kepada pengasuh sambil berkata,
"Penting juga kita urang Sunda belajar bahasa lain seperti bahasa Jawa. Anak ini berkata 'Ngombe'. Anak ini minta minum".
Membangun harga diri anak telah dicontohkan Abah. Hadirnya tamu
tak jarang bagi sebagian orang justru membuat anak merasa diabaikan dan
mengalami "self discounting". Hadirnya tamu dan hadirnya kanak-kanak
bagi sebagian orang menjadi sebuah konflik kepentingan dan kanak-kanak justru
terabaikan. Abah mampu menunjukkan cara bahwa keduanya perlu mendapatkan
kehormatan yang sesuai.
Oleh: Drs. Asep Haerul Gani, Psikolog
Sumber:
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=1407601202590201&set=pb.100000210054177.-2207520000.1477368264.&type=3&theater
loading...
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon