Mankobah Abah Anom: Abah Anom dan Daun Nangka
Tahun 1970an akhir, seorang santri pria dititipkan oleh orangtuanya
kepada Abah Anom. Pagi ia bersekolah di SMPI (yang kelak menjadi Madrasah
Tsanawiyah) dan sore hari mengikuti pengajian kepesantrenan di Masjid Nurul
Asror yang kala itu masih berlantai dan berdinding kayu.
Santri remaja ganteng ini dinasihati orangtuanya agar mampu menitipkan diri antara lain dengan membantu pekerjaan Ajengan dan keluarganya. Santri remaja itu membantu memelihara domba yang dimiliki Abah Anom. Usai sekolah dan sebelum mesantren ia menyabit rumput dan memberi makan domba.
Suatu kali saat santri remaja sedang memberi makan domba, Abah datang ke kandang menghampiri, sambil memperhatikan rumput dan daun-daunan yang ada di bak tempat makan domba. Abah Anom memegang daun nangka, yang ada di situ, dan berkata,
"Abah mah tidak punya pohon nangka. Ini daun nangka dari pohon nangka siapa? Apakah Encep mendapatkan daun nangka ini dengan kerelaan yang memiliki pohonnya? Meski yang punya tidak melihatnya dan tidak mengetahuinya, apakah Allah tidak melihat? "
Pertanyaan itu sedemikian menohok. Santri remaja itu hanya tertunduk lesu. Ia berniat meminta maaf kepada yang punya pohon nangka. Ia pun mulai menyadari bahwa kejujuran itu perlu dilakukan dalam segala hal termasuk dalam perilaku menyabit rumput.
Kini, santri remaja itu telah menjadi wakil talqin dan imam tetap masjid Nurul Asror.
Seorang mursyid mendidik muridnya dengan ragam cara. Kegiatan keseharian pun seperti menyabit rumput dapat menjadi riyadhoh (latihan bagi jiwa) untuk murid-muridnya.
Oleh: Drs. Asep Haerul Gani
Santri remaja ganteng ini dinasihati orangtuanya agar mampu menitipkan diri antara lain dengan membantu pekerjaan Ajengan dan keluarganya. Santri remaja itu membantu memelihara domba yang dimiliki Abah Anom. Usai sekolah dan sebelum mesantren ia menyabit rumput dan memberi makan domba.
Suatu kali saat santri remaja sedang memberi makan domba, Abah datang ke kandang menghampiri, sambil memperhatikan rumput dan daun-daunan yang ada di bak tempat makan domba. Abah Anom memegang daun nangka, yang ada di situ, dan berkata,
"Abah mah tidak punya pohon nangka. Ini daun nangka dari pohon nangka siapa? Apakah Encep mendapatkan daun nangka ini dengan kerelaan yang memiliki pohonnya? Meski yang punya tidak melihatnya dan tidak mengetahuinya, apakah Allah tidak melihat? "
Pertanyaan itu sedemikian menohok. Santri remaja itu hanya tertunduk lesu. Ia berniat meminta maaf kepada yang punya pohon nangka. Ia pun mulai menyadari bahwa kejujuran itu perlu dilakukan dalam segala hal termasuk dalam perilaku menyabit rumput.
Kini, santri remaja itu telah menjadi wakil talqin dan imam tetap masjid Nurul Asror.
Seorang mursyid mendidik muridnya dengan ragam cara. Kegiatan keseharian pun seperti menyabit rumput dapat menjadi riyadhoh (latihan bagi jiwa) untuk murid-muridnya.
Oleh: Drs. Asep Haerul Gani
Sumber:
https://www.facebook.com/photo.php?fbid=1404296892920632&set=pb.100000210054177.-2207520000.1477368264.&type=3&theater
loading...
Sign up here with your email
1 komentar:
Write komentarBetul... santri yang dimaksud adalah KH. Sandisi.
ReplyConversionConversion EmoticonEmoticon