Tafsir Mudik Burung HudHud

Tafsir Mudik Burung HudHud
oleh: Drs. Asep Haerul Gani, Psikolog

"Mudik" adalah lawan dari kata "Hilir". Kata yang sama dengan "Mudik" adallah "Hulu". "Ulu", "Girang", "Pangkal", "Mula", "Awal". Mudik secara syari'at cukup diperlukan punya niat dan biaya untuk perjalanan. Mudik secara hakikat membutuhkan kesiapan jiwa untuk mengubah arah yang sudah terlanjur menghilir segera stop lalu berubah arah ke hulu , ke asal kejadian, ke titik mula, ke sangkan paraning dumadi, ke baligeusan ngajadi, ke titik saat perjanjian primordial saat ruh tegas menjawab "Bala Syahidna", ke keadaan "Inna Lillahi", ke keadaan "BismilLahi". ke kondisi "La Ilaha", ke maqom "La Hawlaa wa Laa Quwwata"

Manusia yang dinyatakan sebagai "Zoon Politicon" atau Hewan yang berpolitik hampir sama dengan beberapa binatang yang suka kembali ke tempat asal kelahiran. Ikan Salmon di musim tertentu menempuh aliran sungai dari laut lepas, menuju muara, kemudian menuju ke hulu melewati ragam rintangan termasuk menghadapi kematian akibat kesulitan alam juga predator yang siap memangsa. Sejumlah burung yang bermigrasi ke sejumlah daerah, di musim tertentu kembali ke daerah asal saat ia ditetaskan, dan mau melalui badai, topan, dan musim yang tak bersahabat, hingga kematian di perjalanan adalah harga yang siap dibayar. Sejumlah penyu yang sudah melalui sebagian lautan dan samudera suatu saat kembali ke pesisir tempat ia melihat dunia ini.

Mudik dalam dunia binatang ada insting untuk kembali dengan tujuan reproduksi, melanjutkan siklus kehidupan bahkan selanjutnya siap mati di tempat asal. Manusia lebih kompleks daripada binatang, mudik tidak hanya bertujuan sekedar kembali ke tanah tempat dilahirkan. Mudik tidak sekedar berjumpa orang tua yang melahirkan atau berjumpa mertua yang telah berjasa membesarkan pasangan hidup. Mudik terlebih menepis kerinduan jiwa akan keadaan jiwa yang tenang, damai, bersih, bening, luas dan lapang usai hampir setahun penuh jiwa berada dalam penat lelah keributan, kericuhan, kekotoran, kenistaan, kesesakan dan kesempitan.

Kemacetan yang dialami hingga berjam-jam, penat, lelah, ngantuk, gerah, lapar, haus selama dalam perjalanan dipandang tidak seberapa harganya dibandingkan suasana jiwa yang akan didapatkan di tempat Mudik. Meski hanya sedetik di tempat mudik, ia mampu recharge energi yang sudah surut, bahkan karenanya mampu menjadi energizer bagi pihak-pihak lainnya.

Kisah kerinduan para pemudik ke tempat mudik ini selaras dengan kerinduan para burung yang rindu berjumpa dengan Simurgh, yang digambarkan dalam sebuah kisah alegori "Mantiq Ath Thoyr" (Musyawarah Para Burung) karya Sufi Sang Penebar Wangi , Fariduddin Attar. Hud Hud sebagai burung yang telah berjumpa dengan Simurgh mengabarkan jalan yang perlu dilalui untuk berjumpa dengan Simurgh. Pada mulanya para burung gegap gempita sangat berhasrat segera jumpa dengan Simurgh. Akan tetapi usai Hudhud menyampaikan bahwa jalan menuju Simurgh akan melintasi tujuh ngarai berbahaya yang bernama "Misi, Cinta, Pemahaman, Melepaskan, Penyatuan, Kebingungan dan Pemusnahan", satu persatu para burung mengungkapkan alasan-alasannya untuk berkilah membatalkan bahkan mematikan kerinduanya berjumpa dengan Simurgh.

Para pemudik yang telah melewati ratusan bahkan ribuan kilometer itu memang tidak semua tiba di tempat yang ditujunya. Meski demikian mereka telah bergladi melakukan perjalanan HudHud menuju Simurgh. Mereka memiliki Misi yaitu menuju tempat Mudik. Mereka memiliki Cinta yang membuat seluruh energi terfokus kepada Misinya. Mereka memiliki pemahaman yang melampaui sekedar perhitungan untung-rugi, manfaat-mudhorot. Mereka mampu melepaskan diri dari kungkungan ego, pemikiran, pandangan yang akan membatasi mereka. Mereka mampu melakukan penyatuan dengan diri sejati mereka. Mereka memang alami kebingungan saat selalu ada daya tarik menarik antara kualitas-kualitas diri yang merendahkan dan yang membenarkan. Mereka dalam sejumlah hal mampu memusnahkan ego-ego yang akan menghijab mereka dari tujuan.

Para pemudik telah bergladi kotor dalam pentas tahunan Idul Fitri, seperti para pemudik telah bergladi kotor dalam sebulan Ramadhan. Meski sebagian dari kita tidak mudik, namun pada hakikatnya kita suka tidak suka akan jadi pemudik. Syawal hingga ajal datang pertanyaan bagi kita Siapkah kita mudik kepada kesejatian diri kita, kepada keindahan tak terperi yaitu melihat dan berjumpa dengan Sang Maha.

Semoga kita semua diberikan kekuatan niat , daya juang, ketekunan, dan tawakkal seperti HudHud yang akhirnya berjumpa denngan Simurgh. Amiin.

Sumber:
https://web.facebook.com/asephaerulgani/posts/1382649045085417

 
gambar ilustrasi
loading...
Previous
Next Post »