Kuliah pamungkas MK
Maqamat wal ahwal
Prof. Dr. Nurshamad Kamba,MA |
"Narkotika
itu tidak sedemikian membahayakannya daripada pujian dan hinaan. Seringkali
orang sedemikian rupa berupaya bertingkahlaku untuk memperoleh pujian. Saat ia
tidak memperoleh pujian, dirinya seakan sakau , dan mengalami ketagihan.
Seringkali orang sedemikian takut akan hinaan atau celaan, sehingga saat
menerima celaan , justru yang terjadi adalah diri menggigil dan demam"
kata Antonio De Mello.
Di
kaum Sufi, Penghinaan dan pencelaan (Arab : Malamat- malam - celaan) dijadikan
sebagai metode dalam mendekatkan diri kepada Tuhan. Dalam prakteknya Pujian
yang diterima hamba seringkali membuatnya terlena dan lupa bahwa puian yang
ditempekan kepadaNya sebenarnya bukanlah miliknya. Dengan demikian pujian baik
yang telah diterima ataupun hasrat akan pujian dari makhluk seringkali justru
membuat manusia lupa pada hanya mengesakan Allah dan tanpa sadar meniadakan
peranNya, dan ini berarti saat manusia bangga diri dan terlena bahkan berharap
pujian , ia sedang meNuhankan dirinya, dan tanpa sadar terjebak dalam perilaku
Syirik.
Karena
itu dalam metode malamatiyah ini ditemukan sebuah nasihat yang paradoks
"Jauhi orang yang memujimu, dan Dekatilah orang yang mencelamu".
Dengan
pencelaan diri ini, dari sisi Psikologis, Diri selalu berupaya ajeg dalam
mengkritisi apa yang ada dalam benak, dalam ucapan, dalam sangkaan dan dalam
tindakan dari setiap detik sesuai dengan yang diinginkan Tuhan.
Malamatiyyah
ini dengan demikian akan menghasilkan keadaan:
1.
Anti Kemapanan
Sang
pejalan akan selalu mengoreksi diri, dan menyadari bahwa apa yang sudah
diperoleh bukanlah hal yang menetap, dan bukan pula ujung perjalanan.
Penghinaan dan pencelaan diri ini membawa seseorang untuk selalu berada dalam
oposisi psikologis. Penghinaan diri ini akan menghasilkan upaya terus selalu
mengoreksi, selalu memperbaiki, selalu merasakan diri sebagai hamba dan hilang,
tiada yang Maha, toada yang Ada kecuali Allah.
2.
Al Futuwwa
Mereka
memiliki sifat-sifat yang dimiliki Ashab Al Kahfi yang melakukan jalan
pelayanan dan jalan pengabdian. Perilaku Altruisme yang berusaha mengedepankan,
melayani, memulyakan pihak lain . Mereka seperti para Anshar yang memperlakukan
Muhajirin "yang memperhatikan kepentingan orang lain sementara dirinya
perlu".
Kemampuan
mereka melakukan hal ini dilandasi pengikatan mereka (ribath) kepada Allah.
yang dilakukan dengan mengikatkan qalbu mereka kepada Allah, dan mengikatkan
qalbu mereka (Ribath al Qalb) kepada hamba yang menunjukkan Allah (Ribat al
Syaikh).
Atas
dasar itu, mereka mampu menghayati pernyataan Rosul "Perumpamaan orang
beriman adalah ibarat satu tubuh, bila ada organ yang sakit, maka demamnya
dirasakan oleh seluruh tubuh". Seorang pejalan melihat apa yang ada pada
diri orang lain, terlepas perbedaan dan keunikan yang dimiliki, adalah apa yang
sebenarnya terlihat pula ada pada dirinya.
3.
Kemerdekaan, Kedermawanan, Pelepasan Diri dari Dunia
Pencelaan
diri dan penghinaan diri akan membuat sang pejalan ada dalam kemerdekaan dari
kepentingan apapun, merdeka dari pengendalian diri tirani, dan kemerdekaan
memilih langkah-langkah yang akan mendekatkan kepada Allah dan merdeka
menghindari jalan yang menjauhkannya dari Allah.
Pencelaan
diri di sisi lain, akan membuat manusia lebih peduli pada orang lain, Ia akan
merasa kaya, sebagaimana Rosul bersabda "Hartawan adalah siapapun mereka
yang tidak merasa membutuhkan hal yang lain". Kedermawanan para pejalan
ini diekspresikan dalam kesalehan sosial bukan dalam bentuk asketik semu yang
asyik masyuk bermi'raj sendiri namun tanpa memberikan efek positif pada
sekeliling.
Pencelaan
diri ini memungkinkan manusia mengalami "Self Distance" melepaskan
kelekatan pada dunia. Kemampuan mengkritik membutuhkan sebuah pelepasan
kemelekatan dan jarak sehingga sang pejalan boleh menjadi hartawan namun ia tak
terlekat dengan hartanya.
4.
Ketulusan
Ketulusan
itu hanya dapat terjadi karena sikap dari dalam sang pejalan. Ketulusan
diibaratkan seperti jenazah yang dieksplorasi oleh dokter yang mengooperasinya.
Sang pejalan sadar mencermati apa yang dialaminya adalah ada dalam Visi Tuhan ,
segala sesuatu yang dialami sudah hadir dalam penglihatan Tuhan.
Ketulusan
ini adalah pengalaman sang pejalan yang diperoleh denngan sebuah kesadaran.
Sang pejalan terfokus pada berupaya jujur dan tulus terhadap klaim-klaim.
Seorang pejalan akan merasa tidak nyaman saat dalam do'a iftitah menyatakan ,
"Sesungguhnya shalatku, ibadahku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah
Tuhan Pencipta Alam" namun ia belum mampu mengamalkan apa yang
diucapkannya. Ia berupaya untuk jujur terhadap klaim-klaim itu.
5.
Toleransi Agama
Adanya
sikap pencelaan dan koreksi, membuat sang pejalan berhati-hati untuk mengoreksi
dan mencela pihak lain, Alih-alih menggunakan teleskop untuk melihat kelemahan
orang lain, ia justru menggunakan mikroskop untuk menemukan hal yang perlu
diperbaiki di dalam diri.
Hal
ini akan membuatnya menampilkan perilaku yang hormat kepada orang lain yang
berbeda pandangan, menolak bertengkar, menghindari merasa benar sendiri,
menjauhi fanatisme, menghindari cara-cara kekerasan dan takkkan pernah
menggunakan agama untuk pembenaran sebuah perilaku zalim bagi sesama manusia.
***
Anekdot
Syaikh Najmuddin Al Qurdi
1.
Syaikh dan Karomah
Ulangkali
saya membaca kitab Al Junayd, saya tetap tidak paham. Saya mendapatkan petunjuk
bahwa untuk memahami kitab Al Junayd saya perlu belajar dari Syaikh Al Qudri.
Meski saya saat itu belum bertarikat, saya menungguinya usai dzuhur untuk
membacakan kitab Al Junayd di hadapannya. Setelah beberapa kaii saya membacakan
kitab di depannya, saya memperoleh ijazah "Baik, mulai sekarang kamu bisa
baca ini sendiri.
Saat
saya menulis disertasi, Saya bangun malam dan saya menulis. Saya merasakan
bahwa saya seperti bertemu dengan Syaikh yang mendiktekan apa yang perlu saya
tulis. Begitu saya telah selesai menulis, saya menceritakan kepada Syaikh
"Apa yang saya tulis ini saya dengar dari Anda, Syaikh". Alih-alih ia
mengiakan, ia mengatakan "Ah... Nursamad, kamu lebay aja".
Seorang
syaikh selalu menghindari dari upaya apapun yang menunjukkan bahwa ia memiliki
karomah, dan menjelaskan hal itu bukan karomah. Ia tidak akan pernah berani
mengklaim itu sebagai karomah.
Keadaan
syaikh dengan akhlak seperti ini bagi murid justru membuat karomah sang Syaikh
makin terlihat.
2.
Syaikh dan Perwira Intelijen
Dalam
pemerintahan Presiden Gamal Abdul Nasher yang otoriter dan korup, Syaikh
Najmuddin Al Qurdi dipandang sebagai tokoh yang membahayakan, karena itu ia
dikelilingi oleh para perwira intellijen. Seorang perwira muda intellijen yang
berhasil mendekati Syaikh, kemudian membawa Syaikh ke suatu tempat pemeriksaan,
dan melakukan interogasi dengan mengajukan sejumlah pertanyaan kepada Syaikh.
Alih-alih
menjawab pertanyaan sang perwira intellijen, sang Syaikh malah berkata kepada
sang perwira, "Anakku, daripada engkau mengajukan pertanyaan-pertanyaan
seperti itu dan tak perlu, jauh lebih baik engkau melakukan Shalat Sunat dua
rokaat sekarang". Sang perwira menghentikan kegiatan interogasinya, dan
kemudian mengikuti nasihat Syaikh dengan melakukan shlat Sunat.
Entah
apa yang dituliskan dalam laporan intelijennya, yang jelas tak lama kemudian
Syakh dilepaskan dan telah berada di ribathnya. Sekarang sang perwira intelijen
itu sudah menjadi pensiunan jenderal dan menjadi murid Syaikh.
3.
Ustadz Nuh dan Jin Pengganggu
Ustadz
Nuh sangat dikenal di daerah Bojong Bogor. Ia mahasiswa asal Indonesia yang
kuliah di Al Azhar selama 23 tahun, memperoleh beasiswa dan tidak naik tingkat
karena terlalu asyik dengan kegiatan kesebelasan sepakbola di kampus. Ia
rupanya adalah pemuda yang disukai oleh Syaikh, dan usai alami pperjumpaan
dengan syaikh ia menjadi sadar dan kemudian pulang ke tanah air dan dipandang
sebagai Ulama Besar.
Sebelum
ia pulang ke tanah Air , ia dipesankan Syaikh untuk berguru kepada saya, dan
harus tunduk kepada saya.
Suatu
kali ada seorang Ibu yang mengeluhkan rumahnya selalu mendapatkan gangguan dari
jin. Jin itu mengganggu dengan selalu membuka pintu rumah yang sudah dikunci.
Berkali-kali dikunci, berkali-kali terbuka. Si Ibu mendapatkan air yang telah
diberi doa oleh Ustadz Nuh. "Air ini kucurkan ke sekeliling rumah,
sehingga Jin ini tidak bisa masuk lagi ke dalam rumah".
Beberapa
hari kemudian, Si Ibu datang lagi ke rumah ustadz Nuh dan mengeluh,
"Sekarang memang kunci rumah tertutup rapat, tapi pintu suka dilempari
batu terus" kata si Ibu dengan roman khawatir.
"Gini
aja ya Bu, nanti malam kalau ibu dengar lemparan batu pertama ke pintu, buka
pintunya dan teriaklah "Awas kau, kalau kau masih ganggu aku, aku laporkan
ke Ustadz Nuh". Tidak diketahui apakah anjuran itu berhasil, yang jelas si
Ibu tidak pernah datang lagi ke rumah ustadz Nuh untuk mengeluh.
***
Pun Sapun Ampun Paralun
Disampaikan
pada Perkuliahan Pascasarjana Akhlak Tasawuf IAILM Suryalaya, Minggu, 28-02-2016
oleh Prof. Dr. Nurshamad Kamba, MA.
Para mahasiswa berphoto bersama selepas perkuliahan |
loading...
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon