![]() |
(Gambar Ilustrasi) |
Terbentuknya Masyarakat Ekonomi
Asean (MEA) menjadikan proses interaksi antar individu bersifat langsung dan
mobilitas social cepat. Proses berkebudayaan lintas Negara yang sangat beragam
pun menjadi cair.
Dapat dibayangkan, dengan
interaksi di dunia maya, media sosial dan berbagai acara hiburan saja, arus
deras globalisasi budaya sudah sangat terasa, apalagi dengan interaksi
langsung. Sementara kini, produksi kebudayaan didominasi oleh kaum kapitalis
peraup laba dari dunia bisnis hiburan dan budaya populer. Arus utama kebudayaan
dikendalikan oleh televisi, Youtube, media sosial dan jejaring hiburan berbasis
internet lainnya. Merekalah yang memegang peran utama dalam menentukan nasib
mati hidupnya sebuah produk kebudayaan. Filosofi kebudayaannya didominasi oleh pragmatisme,
materialisme, dan hedonisme.
Kebudayaan sebagai produk akal
budi manusia yang luhur kini disempitkan menjadi sekadar hiburan, kesenangan,
tren berbusana dan berbagai bentuk budaya populer lainnya. Lebih dominan aksi
dibandingkan dengan esensi. Filsafat, ilmu pengetahuan dan teknologi serta
berbagai seni tradisi yang mengandung nilai filosofi disimpan di ruang
belakang, jauh dari penghargaan, dukungan bahkan penghormatan. Lihat saja,
honor artis sekali manggung berpuluhkali lipat jumlahnya dibandingkan dengan
gaji sebulan seorang guru atau dosen.
Globalisasi menyebabkan
terjadinya interaksi sosial budaya lintas Negara dan ruang simbolik baru.
Menurut Irwan Abdullah dalam bukunya Konstruksi
dan Reproduksi Kebudayaan (2007), ada dua hal yang bakal terjadi. Pertama, adaptasi
kultural para pendatang dengan kebudayaan tempat bermukim, menyangkut adaptasi
nilai dan praktik secara umum. Meskipun kebudayaan local tidak memiliki daya
paksa, diyakini hal itu memiliki pengaruh penting.
Kedua, terjadinya proses
pembentukan identitas individual yang mengacu kepada nilai budaya asalnya. Menurut
Ben Anderson, kebudayaan kerap mejadi imagined
value yang ada dalam nalar setiap orang walau dia berada di luar lingkungan
budaya tersebut. Tingkat penerimaan individu terhadap budaya lokal setempat
atau budaya asal ditentukan oleh dominasi budaya terhadap individu dan
masyarakat tersebut.
Enam Rumus
Globalisasi kerap melahirkan
turbulensi budaya bagi mereka yang berada di pinggiran. Untuk itu diperlukan
kecerdasan budaya yang dirumuskan dengan enam kata kunci; kritis, adaptif, normatif, integratif, solutif, dan berkemajuan.
Kritis mengandung makna bahwa
setiap kita harus menyadari jika budaya itu merupakan produksi manusia yang tak
boleh diterima begitu saja tanpa saringan. Ukuran kebenarannya bukan diletakkan
pada tren, keumuman atau segala yang berasal dari Barat sebagai pusat, tetapi
pada nilai-nilai kemanusiaan. Filsafat dibutuhkan sebagai pisau analisis untuk
semua produk kebudayaan yang tersaji. sayangnya, sebagian dari kita telah
menghakimi filsafat sebagai biang kesesatan.
Rumus kedua, prinsip adaptatif.
Bila tidak bertentangan dengan nilai agama, moral, norma dan etika,
mengadaptasi kebudayaan perlu dilakukan. Ketika mahasiswa tingkat sarjana
belajar filsafat Barat, tujuannya bukan untuk meniru orang Barat, tetapi untuk
belajar metode berfikirnya, mencari jawaban dari pertanyaan, mengapa budaya
kebudayaan Barat maju dari sisi ilmu pengetahuan dan teknologi. Sikap disiplin,
kerja keras, selalu ingin berprestasi, mengedepankan pendekatan ilmu
pengetahuan dan pemanfaatan teknologi dalam kehidupan adalah conto budaya yang perlu
diadaptasi.
Kata kunci ketiga dari kecerdasan
berbudaya itu adalah normatif. Bila filsafat membantu mengkritisi nilai laten
yang menyelinap dari setiap symbol budaya, maka sikap normatif, kukuh, dan ajek
pada nilai-nilai tauhid akan menjadi kekuatan utama untuk membuang segala
nilai-nilai yang negative dari suatu budaya.
Keempat, perlu diingat bahwa
nilai agama dan berbagai nilai budaya yang ada dalam masyarakat harus
diintegrasikan. Persoalannya kemudian akan lahir dominasi dan yang
terpinggirkan. Dialog, komunikasi terbuka, dan sikap menghormati kebenaran yang
lain dengan tetap berpegang teguh pada keyakinan sendiri, akan mencairkan
kebekuan dan mempermudah proses integrasi itu. Tentu membutuhkan waktu, tetapi
mereka yang cerdas budayanya, pasti akan sanggup menjadi perekat dari setiap
sekat kebudayaan dan melihat keragaman sebagai keindahan dan bukti keesaan-Nya.
Rumus kelima adalah selalu
solutif, jangan jadi pembuat masalah. Turbulensi budaya melahirkan perubahan
yang begitu cepat. Produk kebudayaan populer yang Berjaya kerap hanya sekejap
dielu-elukan publik, lalu dilupakan dan berganti dengan produk lainnya. Hanya mereka
yang mampu beradaptasi dengan gerakan kebudayaan secara cepat sekaligus
berkualitas akan mampu menjadi pemenang.
Kunci keenam, mereka yang cerdas
berbudaya akan mampu membaca fenomena zaman dan mengarahkan seluruh akal
budinya untuk memproduksi budaya berkemajuan (membebaskan, mencerahkan, dan
memajukan). Rumus berkemajuan juga menuntut peran aktif dan keteladanan ppara
pemimpin formal dan informal baikdi pusat, daerah bahkan hingga komunitas.
Lantas di manakah sebaiknya
proses penumbuhkembangan kecerdasan berbudaya itu dilakukan? Hanya ada dua
tempat yang masih relative steril dari pencemaran budaya, yaitu rumah dan
sekolah. Keduanya merupakan wahana pencerdasan individu.
Kelak di Jawa Barat misalnya,
mungkin akan segera terbentuk identitas Sunda-Jawa-Tiongkok-Thailand-Vietnam
pada individu ataupun masyarakat tertentu. Nalar kebudayaan yang terbentuk
merupakan akumulasi dari percampuran berbagai identitas dan proses reproduksi
kebudayaan yang secara alamiah terjadi. Faktanya kini, kita bukan lagi sebagai
warga local yang kental identitas kesukuan, tetapi sebagai warga dunia.
Dalam proses perumusan identitas
dan reproduksi kebudayaan tersebut, kecerdasan berbudaya memegang peran utama. Selain
rumus: kritis, adaptif, normatif, integratif, solutif, dan berkemajuan, pada
akhirnya harus dikukuhkan proses dominasi dan kendali ideologi kebudayaan model
Sunda, Jawa Barat atau Indonesia. Harapannya, akan lahir manusia berbudaya Sunda
(lokal) namun tetap menjadi pelaku aktif dalam kebudayaan global yang
berkemajuan.
Untuk yang satu ini, perlu
politik kebudayaan yang sungguh-sungguh dari pemerintah. Pembangunan kebudayaan
idealnya menjadi ragi dari seluruh proses pembangunan yang berlangsung.
Oleh: Iu Rusliana
Dosen Jurusan Filsafat Agama Fakultas Ushuluddin UIN Bandung
Sumber :
Dikutip dari Pikiran Rakyat
Selasa (Manis) 12 Januari 2016/2 Rabiul Akhir 1437 H./Silih Mulud 1949. Hal. 26.
loading...
Sign up here with your email
ConversionConversion EmoticonEmoticon